RSS

Jembatan Indonesia-Australia



Seperti tahun-tahun kemarin, tahun 2012 ini Libels juga mengadakan program student exchange ke negeri koala, Australia. Program pertukaran pelajar ini dikenal dengan sebutan “Bridge” . Penasaran gimana proses dan kegiatannya? Kali ini kami mewawancarai Rizkita Marwa Harumadina, salah satu murid Libels yang ikut Bridge tahun ini.
Pertama, sekolah ngadain tes buat yang berminat ikut ‘Bridge’ ada sekitar 50-an anak yang terlihat memenuhi ruang tes yang dilakukan di ruang Mat-1 dan Mat-2. Yang keterima nggak lebih dari setengah pendaftar, 25 orang. “Alhamdulillah, keterima” kata Adin, sapaan Rizkita.

Apa sih yang dipersiapkan? “Pastinya mental dan biaya, soalnya kan ini program mandiri untuk yang berminat dan yang mampu, ditambah latihan conversation lebih rutin”


            Kegiatan di Aussie dimulai saat sampai, pagi hari Mei tanggal 17. Para siswa dan beberapa guru pendamping Libels diantar ke asrama Kormilda Collage. Siang harinya mereka dipertemukan dengan Host Family. Para siswa tinggal di rumah Host-fam yang berbeda. Ada yang pulang dengan mobil, bis, bahkan jalan. “Kalau aku kebetulan diajak jalan kaki, karena kebetulan rumahnya dekat sama sekolah” jelas Adin. Para guru Libels menginap di rumah Miss Katryn, guru pendamping Bridge dari pihak Australia. Dari sini, cerita barulah dimulai.

            Perbedaan-perbedaan pastilah ada diantara Indonesia dengan Australia. Salah satunya, fasilitas yang lebih lengkap dan area sekolah yang jauh lebih luas dari Libels. Oke, Libels aja udah bisa dibilang sekolah luas di Surabaya, nggak kebayang kan segimana besarnya Kormilda Collage? Kerennya, di Aussie ada perlengkapan yang digunakan untuk mengajar yang menarik, yaitu adalah “Smart Board” sejenis proyektor yang bisa dicoret-coret mengunakan spidol khusus dan tidak memerlukan laptop untuk memasukan data ataupun mengoperasikanya, sungguh menarik bukan?!

“Tapi sepertinya, segi kurikulum di sana lebih rendah, karena yang di sini kita pelajari di kelas satu, di sana kita mempelajarinya di kelas 2” terang Adin.
            Seragam juga jelas berbeda, di Indonesia kita mengenal “seragam” sebagai pakaian formal rapi yang wajib dikenakan waktu sekolah. Namun, di Aussie, yang namanya “seragam” lebih seperti mengenakan pakaian yang sama. Jadi jenisnya nggak bisa dibilang formal, hanya pakai kaos dan celana olah raga pendek sekolah. “Ya, kita kan budayanya berbeda sama Australia, jadi ya, di sana baru merupakan hal yang aneh melihat kita yang berseragam formal seperti ini.

            Kegiatan di sana lebih mengarah ke Pengenalan dan pengetahuan tentang Aussie itu sendiri. Jadi di sana diajak berkeliling ke tempat-tempat wisata Aussie. Tapi nggak Cuma jalan-jalan aja, perwakilan bridge kita juga ikut bersekolah. Di sana, mereka mengikuti kelas sesuai dengan yang host-fam mereka lalui. Jadi kalau host-fam nya kelas 8, ya ikut pelajaran itu.
Yang surprised, ternyata bahasa kita dipelajari di negara asli kanguru itu! Yak, di setiap sekolah diadakan kelas bahasa Indonesia yang tentunya mempelajari bahasa kita.
            “Waktu di sana, kedatangan kita dijadikan seperti praktek langsung oleh native orang Indonesia sendiri” mereka ditanya-tanyai sama murid di sana tentunya dengan menggunakan bahasa Indonesia.
            Di Darwin, mereka diundang oleh konsulat Jenderal Indonesia untuk menampilkan tarian-tarian adat khas budaya Indonesia

            Kesan? “Tentu saja menyenangkan, pengalaman berharga meskipun persiapannya banyak banget.”

            Berminat untuk menjalani langsung pengalaman Adin? Program Bridge ini diadakan setahun sekali, jadi, kesempatan selalu terbuka lebar untuk kita!(dnp)
Bendera yang serasi


Perwakilan dari Aussie bersama tiga guru SMAN 15

Rizkita Marwa


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment