Jika ingin aku bicara, aku tak tau apa yang harus
ku bicarakan, jika harus aku bicara, aku gugup untuk bicara. Juga tawa, jika
akan aku tertawa seolah kepedihan datang dan menghentikan hasrat tawaku itu. Semua
sinis seolah tak ingin menganggapku ada.
Aki
Daun-daun
berguguran. Helai demi helai meninggalkan ranting yang telah membuatnya hidup.
Daun itu berjatuhan di depanku, sepanjang jalanku. Aku menatapnya, ia seolah
bicara “Terima kasih ranting, esok akan ada yang lain menemanimu.” . Dan
ranting itu seolah menjawab dengan anggukan. Angin menerpaku, masuk dalam
celah rambutku, membuatnya berkibar bersama dedaunan.
Aku
duduk di pinggir sungai yang jernih, yang masih terlihat jelas bebatuannya.
Bantaran yang sepi namun sejuk. Angin lagi-lagi menggerai rambutku. Aku
merasakan senja di awal musim gugur ini. Musim gugur tahun ini, juga tahun
lalu, serasa tiada bedanya. Hanya satu bedanya, jika tahun lalu aku duduk di
dekat jembatan, saat ini aku duduk di jarak 50 m dari jembatan.
Sepi.
Mengapa
sejak tiga tahun lalu aku hanya bisa merasakan musim ini sendiri. Seolah tak
ada yang ingin menemaniku untuk bermain bersama dedaunan, ataupun membersihkan
daun daun itu. Apakah tak ada yang ingin menemaniku untuk merasakan angin di
bantaran sungai ini.
“Aku
pulang.” Teriakku pada rumah yang enggan menerimaku ini. Aku melepas sepatuku
dan masuk melewati ruang tamu. Mereka seolah tak ingin menyapaku, juga aku yang
enggan menyapa mereka. “Nee-san..”
hanya adik kecil ku saja yang giat menyapaku. Aku menyunggingkan senyum kecil
padanya, lalu meninggalkannya begitu saja.
Aku
merebahkan diriku, menatap langit-langit berbecak kusam itu. Lampu itu lama
mati dan tak ingin hidup kembali. Jendela itu rusak, tak bisa lagi ditutup
rapat. Setiap malam, angin berdesir dalam mimpiku. Aku merasakannya, dan
tersenyum padanya. Setiap musim berganti, bahkan musim ini datang lagi, ku rasa
hanya angin yang bisa menemaniku setiap saat.
Jika
mentari sudah terbangun, nyatanya aku lebih awal bangun. Aku tak pernah
membuang waktuku dalam rumah ini. Pagi buta aku terbangun dan meninggalkan
rumah ini, jika malam datang aku akan pulang untuk memejamkan mata sejenak. Aku
benar-benar muak dengan kehidupanku yang sepi dan diam. Tak ada yang ingin
mengajakku bicara, seolah aku ini patung. Tak ada yang mau menemaniku seakan
aku ini bisa sendiri. Tiap musim aku menangis, terlebih musim gugur ini. Musim
yang membahagiakan sekaligus menyedihkan.
Lima
belas tahun lalu, musim ini membawaku kebahagiaan. Dimana aku membuka mataku,
dan melihat keindahan dunia. Dimana aku mengawali hidupku di pangkuan seorang
ibu juga seorang ayah. Namun hari itu seakan hancur dengan kejadian tiga tahun
lalu. Dimana musim gugur membawa ibu ku pergi, pergi jauh sejauh jauhnya.
Seperti daun yang meninggalkan rantingnya. Mereka terbang terhempas angin, dan
aku berdiri menangis ditinggalnya. Ayahku terlibat kasus pembunuhan, entah itu
nyata atau hanya fitnah, yang jelas tuduhan itu memisahkan aku dengan ayahku.
Hidupku hancur bak terhempas angin topan. Tak ada yang ingin berteman denganku
sejak saat itu. Sejak saat itu, aku tinggal bersama paman di desa Kamiyama ini. Di
rumah yang ramai tapi tak ada yang menganggapku kecuali adik kecil itu. Musim
gugur tiga tahun lalu benar-benar menyakitkan.
Sudah
lama aku berada di SMA Kamiyama ini, tapi tak ada seorang pun yang mengajakku
bicara bahkan guruku. Aku begitu pendiam. Jika ingin aku bicara, aku tak tau
apa yang harus ku bicarakan, jika harus aku bicara, aku gugup untuk bicara.
Juga tawa, jika akan aku tertawa seolah kepedihan datang dan menghentikan
hasrat tawaku itu. Semua sinis seolah tak ingin menganggapku ada. Kehidupan
macam apa ini Tuhan.. Mengapa begitu menyedihkan dan menyakitkan.
Semuanya
tertawa dan saling berbincang. Sedang aku, hanya bisa mengetuk pena di atas
meja, dan menatap keluar. Menatap langit biru yang berhias awan putih. Menatap
dedaunan yang berjatuhan. Bel masuk berbunyi keras, semua siap dibangku, sedang
aku.. Aku hanya bisa diam dan tetap menatap keluar jendela. Untuk saat ini,
hanya daun daun itu yang mampu mengajak bicara hati ini.
Batu
batu kecil terlempar keras di sungai. Ia tenggelam tanpa dosa. Pandanganku
kosong. Mentari yang tadinya bercahaya terang, perlahan sinar itu sirna. Warna
senja yang indah menyeruak mewarnai langit biru itu. Hari semakin sore, hingga
akhirnya kelam. Angin semakin dingin merasuk dalam tubuhku. Aku menarik tasku
dan berbalik ke belakang. Diriku tersentak kaget saat melihat ia berdiri tepat
di depanku.
Aku
menatap ia sesaat lalu pergi begitu saja.
“Sampai
kapan kau akan diam?” tanyanya yang menghentikan langkahku. Aku hanya diam tak
menjawab, karena aku tak tau harus menjawab apa. “Kenapa diam? Kamu tak tau
jawabannya?” tanyanya lagi. Aku berbalik menatapnya lagi, ia pun melihat
kearahku. Kami saling menatap sesaat, angin berdesir kecil, suara gemericik
air pun terdengar, suasana menjadi sunyi.
“Aki (Musim gugur) telah berlalu tiga
kali, tapi kau tak juga maju. Semua yang berlalu biarlah berlalu. Ada apa
denganmu?” tanyanya keras. “Ni-chan” gumamku
pelan. “Ni-chan” gumamku lagi. “Aki sudah berlalu tiga tahun, tapi aku
masih seperti ini. Kau tau kenapa? Karena aku takut, aku sendiri. Semua
memusuhiku, seolah aku ini monster atau musuh atau pembunuh berantai. Ni-chan, kenapa kau meninggalkan aku
sendiri. Kenapa kau menitipkan ku di desa ini, kenapa kau menitipkan aku pada
rumah yang enggan menerimaku? Ni-chan kemana
saja selama ini?” jawabku panjang lebar penuh emosi, tanganku mengepal erat.
Dia
kakaku, yang juga meninggalkanku tiga tahun lalu. Saat kehidupan keluarga ku
hancur, dialah yang membawaku ke desa ini, dan menyuruhku tinggal bersama
paman. Sedang ia, berkelana entah kenapa. Ia diam, diam tak bicara. Ku lihat
wajahnya yang bingung, lidahnya kelu.
“Mei-chan..
M.. Maa..f..” ucapnya terbatah. Aku tersentak mendengarnya. “Mei-chan.. Tak
seharusnya aku meninggalkanmu kala dulu, harusnya aku menemanimu dan
melindungimu. Maaf..” katanya lagi. Ku lihat matanya berkaca, terasa sesak di
dadaku melihat matanya yang penuh penyesalan. “Aku hanya memikirkan diriku
sendiri, aku lari dari masalah ini, aku berkelana jauh meninggalkanmu sendiri.
Aku memang tak cocok jadi kakak mu Mei-chan. Maaf. Maafkan aku Mei-chan.” Ia
berlutut di hadapanku sambil menunduk. “Ni-chan..”
Aku berlari padanya dan memeluknya, serasa kehangatan itu datang kembali. Angin
yang tadinya begitu dingin, serasa hilang dalam sesaat. Aku rasakan air matanya
yang menetes di pundakku. Kami saling diam, hanya isak tangis pelan yang
terdengar di bantaran sungai malam itu.
“Jika
benar ini takdir dari Tuhan.. Aku bersyukur pada-Mu Tuhan.. Inikah penyambutan
untuk kebebasanku..” seseorang berkata setengah bergumam. Suara itu tak asing
bagiku, aku melepas pelukanku pada kakakku, dan berbalik kearah suara itu. “Oto-san..” teriakku bersamaan dengan
kakak. Malam itu, semakin hangat terasa, ketika aku kembali merasakan pelukan Oto-san..
“Oto-san.. aku merindukanmu.” ucapku.
“Juga
aku, Oto-san, aku sangat sangat
merindukanmu.” ucap kakak.
“Sama
anak-anakku. Aku merindukanmu Mei-chan, aku juga merindukanmu Kai-chan.”
Kami
berjalan di bawah sinar rembulan, sambil tertawa, mencari tempat tinggal baru.
Senang rasanya, saat bisa melihat kakak juga ayahku kembali. Kasus pembunuhan
yang terjadi pada ayah kini selesai sudah. Akhirnya penjahat yang asli telah ditemukan,
dan tentunya bukan Oto-san. “Oto-san benar-benar lelaki hebat.” ucapku.
Kakak dan ayah tersenyum padaku. Inilah yang kutunggu sepanjang tiga tahun ini.
Musim gugur tahun ini, nyatanya tak seperti yang ku bayangkan. Musim gugur
tahun ini, musim gugur paling indah yang pernah ada.
(Nasyta)
0 komentar:
Post a Comment