RSS

Istiqomah

Aku tidak habis pikir, bagaimana papa bisa melarangku jadi guru, padahal dia adalah guru. Sepengetahuanku, papa memilih profesinya bukan karena keterpaksaan, tapi sebuah pilihan. Dengan totalitas dan kesungguhan. Seluruh hidupnya didedikasikan sebagai “Umar Bakri”. Seluruh aktivitas sehari-harinya hanya untuk pekerjaannya itu.

Istiqomah

Oleh Muhadi

Papa menghidupi keluarga kami hanya mengandalkan dari gaji sebagai guru SD. Alhamdulillah barokah. Papa tidak cari objekan lainnya, tidak seperti guru kebanyakan. Papa tidak memberikan les privat muridnya. Memang pada malam hari, habis shalat magrib, banyak anak tetangga yang belajar di rumah kami. Dengan telalen dan ikhlas, papa mendidik mereka secara gratis. Papa tidak mau diupah. Kadang Bik Rukiyah dan yang lainnya datang ke rumah bawa pisang, ketela, atau yang lainnya. Barangkali begitulah cara mereka mengupah. Pernah ada yang memaksa memberi amplopan yang diselipkan si saku Mas Aditya, kakakku yang sulung. Tapi, buru-buru ayah mengembalikan.“Bu De, tidak usah seperti ini. Kalau Bu De lakukan lagi,  aku tidak mau membimbing Asrofi,” acam papa saat itu.

Pendirian papa sangat tegas.Sekali tidak, selamanya tidak. Rupanya karakter ini menurun padaku sedangkan kedua kakakku mewarisi watak mama. Dalam urusan pendidikan anak-anaknya, keputusan papa mutlak, melebihi UUD yang bisa diamandemen. Semua anggota keluarga harus sami’na wa atha’na. Tapi aku yakin keputusannya bukan tanpa reserver.

Pernah pada suatu pagi, tepatnya pada hari minggu, setelah sarapan pagi papa memanggil aku. Saat itu aku masih duduk di kelas X di sebuah sekolah ternama di kota kami.

“Satriya?”

“Dalem Pa” jawabku dan langsung menuju ke tempat papa dan mama berada.

“Ada apa tha Pa. Papa minta tolong apa?"

“Enggak. Nggak minta tolong. Santai ajalah. Ini kan hari Minggu. Memangnya kamu ada acara di sekolah?”.

“Tidak ada Pa”.

“Gimana, kamu suka di sekolahmu itu?”

“Wah. Suka pol Pa. Sekolahnya memang hebat Pa. Fasilitasnya lengkap dan terperlihara serta berfungsi secara maksimal. Teman-teman Satriya hebat Pa. Bukan hanya cerdas akademik melainkan kreatif dan care banget”.

“Care bagaimana? Perhatian sama kamu. Begitu maksudmu?” sela papa.

“Bukan hanya itu. Hampir seluruh siswa peduli banget pada kebersihan lingkungan dan orang lain. Nyaris tidak ada sesobek kertas pun yang tercecer di lantai. Kalau habis makan premen misalnya, pasti bungkusnya dimasukkan keranjang sampah atau dalam sakunya. Gurunya juga hebat-hebat Pa”.

“Benarkan papa bilang. Pilihan orang tua untuk anak pastilah yang terbaik. Termasuk sekolahmu itu. Itu papa kan punya ide. Nyatanya kamu suka dan cocok tho”.

“Betul Pa. Terima kasih. Tapi yang paling Satriya suka gurunya, Pa. Ada dua guru Satriya yang hebat, Pa”.

“Wah demikian hebat? Hebat mana dengan papa?”

“Ya tentu hebat papa donk. Papanya siapa. Tapi, suer Pa. Guru Satriya itu juga luar biasa”. Yang satu guru bahasa Indonesia. Namanya Pak Huer, lengkapnya Pak Abuhuer. Beliau berasal dari NTB, tepatnya Kabupaten  Dompu, Kecamatan Manggelawa, Desa Dorokebo”.

“Pak Abuhuer?” sela papa dengan nada penuh tanya dan heran.

“Ya Pa. Memang beliau orang desa sehingga namanya tampak aneh. Masak nama orang kok Abuhuer. Tapi belakangan saya ketahui bahwa nama Abuhuer diambil dari nama Abu Harairah sahabat Nabi Muhammad. Konon, Abu Harairah salah satu sahabat Nabi yang paling setia padanya. Sejak masuk Islam, Abu Harairah tidak pernah pisah dengan Nabi kecuali pada saat tertentu, misalnya saat tidur. Bukan hanya itu. Abu Hurairah adalah otaknya gudang ilmu pengetahuan. Dia adalah ahli puasa, setiap bulan  berpuasa sunah tiga hari. Hari-harinya diisi dengan membaca Al-Quran dan malamnya shalat tahajud. Juga penyayang binatang. Kucingnya setiap hari dimandikan, diberi makan, diberi tempat, serta selalu diajak ke mana-mana sehingga dapat julukan bapaknya kucing. Hebatnya, dialah yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi”.

“Waduh-waduh, putra kita hebat benar ya Ma?”

“Bener Pa, ragil kita ini memang cerdas, tidak kalah dengan anak pesantren".

“Iya Pa, guru saya itu tidak hanya pandai menganalisis karya sastra, tapi belasan buku sastra sudah diterbitkan. Ketika  masih sebagai siswa SMA, dia telah mengasuh taman sastra di radio di kotanya. Semua kata dan kalimat yang dirangkainya saat mengajar atau di luar kelas mengandung makna yang sangat medalam. Oleh teman-teman dan guru lainnya dijuluki sebagai seorang filsuf, ya karena ketajaman dan kedalaman kandungan makna kata yang diucapkan oleh beliau. Oh, ya Pa. Semula Pak Huer tidak ingin menjadi guru. Orang tuanya juga tidak mendukungnya kalau beliau jadi guru. Namun, menurut beliau, guru itu sangat mulia. Bagaikan pelita menerangi gelapnya malam. Kehadirannya selalu dibutuhkan walau kadang dipandang sebelah mata. Begitu Pa”.

Mendengar bagian akhir ceritaku tentang Pak Huer tersebut, sorot mata papa menunjukkan sikap yang tidak simpatik. Wajahnya bersungut-sungut. Raut mukanya mulai mengembang negatif. Aku acuh saja. Aku tetap bersemangat bercerita.

“Yang kedua guru BK, Pa. Pandangannya persis dengan pandanganku. Bahkan beliau mengatakan bahwa kalau pilih jurusan baik di SMA maupun di PT, jangan hanya mengikuti tren, tapi harus punya integritas dan confident. Jangan karena temannya ambil IPA ikut-ikutan ambil IPA. Jangan pula karena gengsi, semua berbondong-bondong ambil kedokteran. Dan seterusnya. Waduh, guru yang satu ini juga gokil, Pa”.

Kali ini, kemarahan papa benar-benar tak terbendung. Ceramahnya lama dan panjang, lebih panjang daripada cerpen Pak Huer. Lebih lima belas menit papa “pidato”. Seluruh uneg-unegnya dikeluarkan dengan kalimat sumbang dan memekakkan telinga. Nyaris tidak ada kalimat edukatif dan logis yang terucap. Ketika meninggalkan aku, kemarahan papa sama sekali tidak menunjukkan penurunan tensi. Lalu mama menyusul papa. Mereka meninggalkanku sendiri tanpa sepatah kata. Keduanya masuk kamar dan mengunci kamar rapat-rapat. Aku terbengong melihatnya.

Sejak saat itu, aku sangat berhati-hati jika berbicara dengan papa. Demi menjaga perasaan papa dan hubungan harmonis keluarga kami, hampir dua tahun aku tidak pernah  berbicara tentang impianku jadi guru. Setiap muncul pikiran tentang guru, cepat-cepat kualihkan ke hal lain. Aku terus berusaha membenam dalam-dalam keinginanku menjadi guru. Namun lacur, semakin kupendam dan kukubur dalam keinginan, semakin kuat menghujam ke rulung hatiku yang paling dalam. Dalam hatiku terus berkecamuk, perang antar keduanya. Kalau sudah demikian, habis waktuku untuk memimikirkannya.

Demi mememenuhi harapan papa, aku berkuliah di kedokteran Unair. Namun, demi ambisi pribadiku tahun berikutnya aku nyambi berkuliah di universitas swasta ambil  jurusan matematika. Ketertarikanku pada profesi guru tak terbendung. Bagaikan air bah menyapu segala sesuatu yang merintanginya, melebihi kuatnya tsunami menghempaskan Kabupaten Maumere, Sikka pada 12 Desember  1992.

Kedua kuliah itu kujalani dengan baik dan prestasiku aman-aman saja bahkan aku termasuk peringkat baik di Unair maupun di jurusan matematika. Tampaknya kegandrunganku ingin jadi guru tak mampu kualihkan. Dengan sembunyi-sembunyi, kusalurkan keinginanku itu. Semula aku hanya bantu Pak Manto, guru matematiku saat di SMA, yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Mungkin jaraknya kurang dari satu kilometer.

Habis kuliah di kedokteran yang rata-rata pulang sore, aku tidak langsung pulang. Aku selalu mampir ke masjid kampus menunaikan shalat maghrib, selanjutnya menuju rumah Pak Manto. Dia sangat senang aku bantu karena aku termasuk murid terpandainya saat di SMA. Bukan maksud sombong ya, sampai kini aku termasuk mahasiswa berotak encer di kampusku. Anak-anak yang saya ajari sangat puas. Menurut mereka metode yang saya pakai sangat menarik dan menantang sehingga mereka tidak bosan bahkan semakin keranjingan.

Waduh kalau mengenai “salary” jangan tanyalah. Aku bantu Pak Manto mengajari siswa privatnya bukan untuk mencari bayaran, tapi lebih karena panggilan hati. Bagiku, aku diperkenankan membantu menjadi “guru” seperti itu sudah sangat bersyukur. Bersyukur karena “dendam” itu terbayarkan. Aku sangat berterima kasih pada Pak Manto.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, kujalani hal tersebut dengan penuh suka cita. Tidak terasa, aku telah menjadi guru walau guru privat selama satu tahun penuh. Menurut Pak Manto, kematanganku menjadi guru semakin meningkat. Menurutnya aku sudah layak jadi guru yang sebenarnya. Dia minta agar aku ikut bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak-anak

Amanat Pak Amanto benar-benar  menggelitik pikiranku. Betapa tidak, di satu sisi aku ingin cepat lulus kedokteran dengan nilai maksimal, di sisi lain keinginanku menjadi guru pun sangat tinggi. Jika aku lulus dokter, tentu keluarga besarku senang dan bangga, terlebih papa yang cenderung  over itu. Bagiku, profesi guru harga mati. Tidak bisa digantikan oleh yang lainnya.

Pucuk dicita ulam pun tiba. Pepatah ini sangat tepat denganku saat itu. Pada ajaran baru berikutnya, aku resmi jadi guru matematika di sebuah sekolah SMA swasta yang tidak jauh dari kampusku. Semakin lama kecintaanku sebagai guru semakin membuncah. Hasilnya juga di luar dugaan. Spektakuler. Kepercayaan kepala sekolah kepadaku sangat tinggi. Aku diserahi tugas baru sebagai asisten Wakasek Kesiswaan. Menurut para seniorku, keputusan ini tepat karena aku dianggap sangat cerdas dan dedidikasiku sangat tinggi kepada sekolah. Namun, ada juga yang iri, sakit hati, sirik, dan lain sebagainya. Itu aku anggap sebagai risiko yang harus aku terima. Kubiarkan saja pikiran-pikiran mereka. Toh pada akhirnya, akan biasa lagi, seperti kereta berjalan pada relnya.

Sejak saat itu, jam kerjakaku semakin tidak jelas. Setelah mengajar, aku tidak langsung pulang tapi menyelesaikan program sekolah. Setiap hari, aku pulang di atas pukul 21.00. Semula aku mampu membagi waktu kuliah dan kerja fifty-fifty. Lama kelamaan kuliahku terbengkelai. Nilaiku drop. Boro-boro jadi jawara, lulus dengan nilai pres saja sudah sangat beruntung. Untuk di jurusan matematika aku tetap yang nomor satu. Jujur aku menyesal atas kondisi ini. Waktu dan perhatiankan tersedot pada pekerjaan. Mengajar dan mengajar. Aku termasuk tim kreatif yang memikirkan bagaimana sekolah bisa berkembang baik. Perjuanganku terbalaskan. Beberapa siswa yang kubimbing dalam OSN matematika ada yang berhasil sebagai juara nasional dan kini sedang dikarantina di Jakarta untuk mengikuti olimpiade tingkat dunia.

Informasi tentang  kompetensi dan loyalitasku pada sekolah sampai pula pada pemilik yayasan. Kepala sekolah mengatakan bahwa secara khusus pemilik yayasan mengundang aku ke rumahnya. Menurut kepala sekolah hal itu sangat langka terjadi, apalagi terhadap guru baru seperti aku. Berita suka cita itu sempat membuat diri melambung ke angkasa.

Semalaman saya tidak bisa tidur. Saya siapkan segala sesuatunya dengan cermat. Kalimat telah kupersipkan masak-masak. Bahkan, secara khusus pula aku pilih kemeja dan celana yang paling tepat untuk menghadap beliau. Sepatu pun kusemir berkali-kali sehingga menjadi mengkilat.

Sesuai waktu yang ditetapkan, pukul 08.00 aku tiba di rumah pemilik yayasan. Betapa terkejutnya aku saat itu. Ternyata pemilik yayasan itu adalah sahabat karib papa sekaligus provokator agar aku tidak jadi guru. Semua kalimat yangtelah kutata hilang tak berbentuk. Aku sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Mulutku terkunci. Pandangan hampa. Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Demikian juga Om Palupi biasa aku panggil— yang pemilik  tunggal yayasan pendidikan itu tak mampu berkata apa-apa. Kurang dari sepuluh menit aku mohon diri.

“Assalamu’alaikum” pamitku pendek

“Wa’alaikumsalam”, sahut Om Palupi.

Om Palupi mengantarku sampai pagar luar.

“Satriya, sampaikan salamku pada papamu,” pesan Om Palupi sambil memegang pundak kananku.

Hanya anggukan pelan yang bisa kulakukan. Perasaanku kalut. Aku bergegas pulang. Dalam perjalanan, pikiranku terus dikuasai pertanyaan seputar papaku dan Om Palupi. Mengapa mereka melarangku  menjadi seorang guru? Ada salah apa dengan guru? Dua sosok yang sangat peduli dengan pendidikan justru menghalangiku untuk menjadi guru. Siapakah yang salah? Merekakah yang keliru? Ataukah ada yang tidak beres pada profesi guru sehingga orang tua melarang anaknya menjadi guru? Padahal menurutku, gurulah salah satu pilar agen perubahan? Aku tidak mengerti. Aku ingin protes pada papa, atau Om Palupi, atau kesemua orang tua yang berpikir picik seperti itu, tapi rasanya terlalu berat itu kulakukan. Bukan karena takut, tapi karena aku terlalu penurut untuk ukuran anak zaman sekarang.

Sesampai di rumah, motor kujagrak sekenanya di garasi samping. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kubuka pintu depan. Belum sempat aku mengucapkan salam, papa marah bukan kepalang. Rupanya, Om Palupi sudah melaporkan segala sesuatu tentangku. Sontak wajahku terbelalak melihat kemarahan papa. Kemarahannya meledak bagaikan bom atom yang dijatuhkan sekutu di Hirosima dan Nagasaki. Atau mungkin seperti gunung Krakatau yang meletus meluluh lantakkan selat Sunda pada 1883.

“Kamu benar-benar tidak punya adat. Kamu telah mencoreng wajah papamu ini dengan nohta yang paling kotor di muka bumi. Benar-benar, kamu anak yang tak tahu diri. Anak durhaka. Tidak tahu diuntung. Tidak tahu berbakti pada orang tua. Kenapa kamu sukanya membangkang pada orang tua. Kenapa ini kau lakukan. Kenapa? Kenapa? Kenapa?”

Suaranya tiba-tiba melemah. Badannya lemas, lunglai. Kakinya tidak lagi mampu menopang badannya. Papa tersungkur. Kepalanya membentur badugan. Darah segar keluar dari hidung dan mulutnya. Nafasnya terengah-engah. Dadanya naik turun tidak teratur.

Tanpa menunggu lama, papa segera kularikan ke rumah sakit terbaik di kota kami dan ditangani tim dokter terbaik. Berbagai upaya telah dilakukan. Pun obat terbaik telah dimasukkan ke tubuh papa.

Menurut diagnosis dokter, ayahku kena serangan jantung koroner yang mematikan. Juga gegar otak karena benturan tadi. Dokter memutuskan papa harus dioperasi. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, selama tujuh jam tim dokter membedah jantung dan membersihan darah yang menggumpal di otaknya.

Tak henti-hentinya, mulutku terus komat-kamit memanjatkan doa agar papa diberi kelancaran dalam menjalani operasi. Aku turus mengaji dan shalat di masjid rumah sakit. Aku tidak ingat berapa surat yang telah aku baca dan berapa rekaat aku shalat. Berapa banyak air mata yang menetes. Aku merasa bersalah. Karena ulahku, papajadi seperti itu.

Allah berkehendak lain. Pukul 15.15 menit, papa dijemput malaikat penyabut nyawa. Aku berjanji fokus berkuliah di kedokteran seperti yang dihendaki papa. Dua tahun berikutnya aku lulus sebagai dokter muda, aku mendapat gelar  S.Ked (Sarjana Kedokteran). Walaupun begitu aku belum bisa praktik mandiri sebagai dokter. Aku harus menjalani kepaniteraan klinik atau ko-asisten alias asisten dokter selama 1,5 tahun. Setahun berikutnya, aku menjalani UKDI, Ujian Kompetnsi Dokter Indonesia. Selanjutnya, aku mengajukan STR dan SIP sesuai dengan UU Praktik Kedokteran. Ini kujalani dengan penuh suka cita-cita demi pengabdianku kepada papa. Atau lebih tepat sebagai bentuk penebus dosaku kepadanya.

Tertanggal 5 Februari 2000, SIP-ku telah turun, pertanda aku telah secara sah buka praktik. Kujalani hari-hariku sebagai dokter penuh keceriaan dan optimisme tinggi. Mamaku senang. Tidak jarang dia mengujungiku di tempat praktik. Raut mukanya jauh lebih muda dibandingkan dengan usia yang sesungguhnya. Aku rasa jika papa masih hidup, beliau pun sangat senang melihat anaknya sebagai dokter. Dokter Satriya Tri Gunawan Affiandy.

Kini aku sudah berumah tangga. Istri sebagai konsultan pendidikan dan sering tampil di mana-mana baik di televisi maupun radio FM dan di perguruan tinggi serta sekolah-sekolah besar. Kedua anakku cantik-cantik, sehat, dan cerdas. Boleh dibilang hidupku berkecukupan dan mapan. Namun keinginan jadi guru tetap berkobar dalam diriku.

Saat ditanya oleh rekan seprofesiku mengapa aku begitu ambisi menjadi guru, aku katakan  bahwa aku dikarunia otak yang cerdas oleh Sang Khalik. Aku wajib share kepada orang lain khususnya generasi muda. Menurutku selain berakhlak mulia, guru harus memiliki kompetensiIQ, EQ, dan SQ nomor wahid, bukan seperti rata-rata kebanyakan guru zaman sekarang, yang berasal dari mahasiswa kelas kedua, ketiga, atau lebih parah dari itu. Selama guru diisi oleh “tenaga BS”, selama itu pula kualitas pendidikan tetap terpuruk. Menurutku kunci pendidikan pada tangan guru.

Niatku bulat. Kini aku benar-benar ingin jadi guru professional seperti papa. Aku kira ‘kenakalan’ku ini bukan bentuk kedurhakaanku pada papa, tapi ekspresi jiwaku kepada orang tua dan tugas suci sebagai makhluk Tuhan yang rahmatan lil’alamin. Semoga ini bukan hanya mimpi-mimpi.

Sidoarjo, Maret 2012

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment